“Itu dia gadis yang aku tunggu-tunggu”, kataku sambil menunjuk seorang gadis cantik bertubuh ideal yang mengenakan jas kerjanya dan dibalut rok ketat panjang dan sangat elegan, berjalan dengan begitu anggunnya sambil sesekali mengibaskan rambut lurusnya yang terurai indah. “siapakah nama gadis itu, Jo? Sampai kau mau mengintipinya seperti ini setiap hari, sebelumnya aku tak pernah melihatmu menyukai perempuan”, tanya temanku Jery, Jery adalah temanku satu kantor sekaligus sahabatku sejak SMA. Dia sangat tau sifatku, keseharianku, bahkan kebiasaan-kebiasaan kecil yang suka aku lakukan. “dia bernama Nurma, gadis sederhana, pekerja keras, berjiwa sosial tinggi, dan cantik pula. Bagaimana menurutmu, bila aku mempersuntingnya?”, kataku sambil memandangi gadis impianku dari kejauhan. “kenapa tidak kau dekati saja dia, Jo? Daripada kau tersiksa seperti ini, dan hanya bisa memandanginya dari kejauhan”, kata Jery yang semakin penasaran. “tidak semudah itu”, ekspresiku berubah pucat seketika, Jery yang melihat perubahan ekspresiku menatapku dengan was-was. “apakah yang menghalangimu teman? Apakah ada saingan lain?”, tatapan penuh kekhawatiran dan perhatian itu, membuatku sedikit lega. “ceritanya panjang, bagaimana kalau ku ceritakan sambil ngopi di café sebrang? Aku dengar kopi di sana sangat nikmat”, kataku. Mendengar perkataanku, Jery berubah seketika wajahnya berbinar-binar dan aku tau itu mengisyaratkan sesuatu. “oke, tapi kamu bayarin aku ya”, sudah aku duga kata-kata itu akan keluar dari mulutnya, dia memang selalu begitu suka memerasku jika gajinya belum keluar. “okedeh, aku traktir”, kami berjalan menuju Green Café yang ada di sebrang jalan dari kami berdiri semula. Café itu cukup bagus, dengan sekelilingnya yang penuh dengan pepohonan yang rindang dan beberapa jenis bunga yang tumbuh di halaman tamannya, selain itu dengan dinding kaca tebal yang sehingga bisa memberikan pemandangan apik dari luar dan tentu sungguh menyejukkan mata. “hmmmm, harum kopinya sungguh nikmat”, sambil ku sesap kopi itu sedikit dan mencium baunya yang harum nikmat. “bagaimana ceritanya? Kau sudah bilang akan menceritakannya kepadaku, jangan sekali-sekali kau menggantung cerita padaku. Karena aku jamin hidupmu tidak akan tenang dengan keusikanku karana rasa penasaran”, kata Jery panjang lebar, mungkin dia sudah terlalu penasaran mengapa selama ini aku hanya berani memandangi Nurma dari kejauhan. “ jadi begini ceritanya, waktu itu aku tidak sengaja menemukannya menangis di jalan dengan gaun indah berwarna putih bersih, dan sepatu tinggi yang tak kalah indah sedang dicincingnya, lalu aku bertanya padanya ‘sedang apa nona disini malam-malam? Kenapa nona menangis? Mungkin saya bisa mengantar nona pulang’ dan ketika dia mendongakkan kepalanya untuk menjawab pertanyaanku, sungguh anugrah terindah yang pernah aku lihat betapa cantiknya wajah itu dan sinar mata yang berkilau itu yang telah membuatku jatuh hati”, ceritaku panjang lebar. “lalu, dia jawab apa? Apa masalahnya, Johan? Sehingga menangis malam-malam begitu”,kata Jery yang masih memasang wajah penasarannya itu. “setalah itu dia menjawab ‘tidak!aku tidak mau pulang, aku terlalu lemah untuk mengetahui semuanya bahwa tunanganku… kekasih yang sangat aku sanyangi, di renggut untuk selamanya dari sisiku’ sungguh jawaban yang tak ku sangka, Jer. Matanya memancarkan luka yang mendalam, membuatku ikut lemas dan terduduk disampingnya dan kubiarkan dia bersandar di pundakku sambil menangis pedih”,ceritaku yang cukup membuat Jery terkejut. Dari ceritaku tadi, Jery mengambil kesimpulan yang benar bahwa aku tidak berani mendekati Nurma karna dia baru saja mendapat duka akan kehilangan kekasih yang sangat dicintainya, dan sangatlah tidak tepat jika tiba-tiba aku mendekatinya dan mengatakan cinta padanya. Lagi pula aku berniat ingin menyembuhkan luka yang masih tergores di hatinya. Aku ingin menghapus kesedihan itu, aku ingin dia tersenyum untukku… ya! Hanya untukku.
Malam itu ketika aku berjalan menuju sebuah toko buku, aku melihat dia… Nurma… gadis impianku. Dia sedang berdiri di depan toko buku dan kelihatan sedang mengobrak-abrik isi dalam tasnya. Mungkin dia sedang kehilangan sesuatu… dan aku harus segera menolongnya… “hai, kita bertemu lagi Nurma… kau sedang apa? Perlu aku bantu?”, dia langsung mendongakkan kepalanya mengarah padaku. “hei… Johan kan? Iya nih barang berhargaku hilang…”, katanya dengan wajah sangat pucat pasi. “barang apa? Mungkin aku bisa membantumu mencarikan barang itu”. “sebuah cincin, cincin yang seharusnya dia sematkan di jariku malam itu, malam naas itu…”, air mata gadis itu mulai menetes ketika menceritakan tentang kejadian malam itu. Entah mengapa, hatiku terasa teriris-iris jika melihat air mata itu turun dari kedua mata indahnya yang penuh binar.
Setelah beberapa saat aku dan Nurma mencari cincin itu, akhirnya aku menemukannya. Cincin itu berada di dekat tumbuhan kamboja yang berada di dalam pot berwarna keemasan. “ini dia cincin yang kamu cari, Nurma”, dengan senang hati aku menunjukkan cincin itu pada Nurma. Dia tersenyum padaku… dan merengkuh tanganku mengucapkan terima kasih… aku hanya bisa terdiam dan masih tidak menyangka bisa mendapatkan senyum itu senyum yang selalu aku dambakan selama ini. Aku tak pernah melihatnya tersenyum selepas ini, setiap hari wajahnya tampak murung. Senyumnyapun terpaksa dan tidak seindah malam ini, mungkin hari-harinya selama ini seperti tak berarti lagi untuknya. Tapi aku bertekad untuk membuatnya bangkit kembali.
Setelah aku menemukan cincin itu, Nurma mengajakku makan malam di warung Mie Ayam pinggir jalan sebagai ucapan terimakasih katanya. Aku sangaaaat senang bisa berada di dekatanya, makan malam dengannya walau hanya di pinggir jalan dengannya, sungguh gadis yang sederhana pikirku. Dengan di temani seplastik krupuk, segelas es teh, dan diiringi music khas para pengamen, aku dan Nurma menikmati Mie Ayam kami dengan sangat antusias. Berulang kali Nurma mencoba mempromosikan tempat ini bahwa Mie Ayam disini memang sangat lezat. Dan sepulang kerja dia sering mampir di warung Mie Ayam ini untuk membeli semangkuk Mie dan segelas es teh. “lalu bagaimana dengan dirimu saat ini? Apa kau sudah baik-baik saja?”, tanyaku yang membuatnya berhenti melahap Mie ayam dan terpaku memandangku dengan wajah memucat dan terlihat sangat sedih, kesedihan yang mendalam. “aku belum sebaik itu…”, katanya dengan wajah tertunduk dan tangannya mulai melemas sehingga garpu dan sendoknya terlepas dari tangannya. “Nurma, jika aku boleh bersaran. Sebaiknya kau mulai bangkit, semua sudah berlalu dan itu sudah menjadi takdir yang tak bisa kita rubah lagi dan tak bisa kita lalui lagi. Kita hanya bisa menerima dan menjalani apa adanya… kurasa kau harus mulai bangkit Nurma…”, kataku sambil menatapnya dalam-dalam penuh keseriusan. “aku ingin, tapi aku tak bisa… cinta itu begitu kuat tertanam di hatiku, cinta yang kami rajut 2 tahun lamanya…”, gadis itu sungguh terluka, aku tau dari ekspresinya dan tatapan matanya. Tak kuduga ternyata aku cemburu mendengar dia masih mencintai almarhum pacarnya dengan amat sangat. Andai aku yang berada di hatinya… aku akan berusaha….
Sudah seminggu lamanya, kami dekat dan semakin akrab setiap harinya. Kurasa aku mulai berhasil membuatnya mulai bangkit meski baru 40% mungkin. Tapi aku tak akan pernah menyerah hingga dia benar-benar sembuh dari lukanya. “bagaimana usahamu, Jo?”, tanya Jery sambil melahap eskrim yang di belinya semenit yang lalu. “aku rasa sudah membuahkan hasil, meski belum seberapa… aku akan tetap berusaha”, jawabku dengan yakin dan mantap. Jery tersenyum lega, dan dari senyumnya aku tau bahwa Jery benar-benar lega…
Sore itu, aku menjemput Nurma untuk berjalan sore di taman kota. “selamat sore tante, Nurmanya ada?”, tanyaku pada seorang wanita setengah baya cantik nan elegan seperti anak gadisnya yang telah merenggut hatiku. “oh ada nak Johan, silahkan masuk dulu”, jawaban lembut yang kudapati dan sambutan hangat dari calon mertuaku… “aku senang kau ada di sisinya Johan…mungkin dia sedang berdandan cantik di kamarnya…”, mama Nurma berbisik dengan senyum yang menyebar di wajahnya. Senyum yang penuh pengharapan, dan aku tak akan mengecewakan harapan itu.
Aku dan Nurma duduk di sebuah kursi panjang di pinggir taman sambil memakan eskrim yang kami beli di mini market sebelum pergi ke taman ini. Aku terus memandangi gadisku tanpa bosan, dan jantungku terasa berdebar-debar melihatnya. Ingin sekali rasanya aku mengungkapkan perasaan cintaku kepadanya, tapi aku tak mau merusak semuanya… merusak momen indah ini bersamanya… mungkin aku harus bersabar sedikit lagi. Dia mengeluarkan MP3 Playernya dan memasang earphone di telinganya, dia mendengarkan music sambil bersandar di bahuku. Sungguh kebahagiaanku terasa lengkap saat ini. Dengan sangat hati-hati ku usap-usap kepalanya dengan lembut, dan ku kecup ujung kepalanya.
Tiba-tiba aku merasakan tetesan air di tanganku, lalu ku lihat wajah Nurma. Oh… Astaga! Gadis cantikku menangis… betapa sakitnya hati ini meihat gadis yang aku sayangi meneteskan air matanya dengan penuh luka. “kamu kenapa Nurma? Apa yang membuatmu menangis? Coba ceritalah padaku”, aku merengkuh kedua bahunya dan menghadapkan tubuhnya menghadapku sehingga aku bisa menatap wajah cantik yang penuh luka itu sekarang. Nurma tidak menjawab pertanyaanku, malah tangisnya semakin seru dan membuatku semakin sakit hati. Aku melihat MP3 yang dia bawa, aku melihat ada judul lagu ‘So Far Away’ yang sedang di putar olehnya. “apakah lagu ini yang membuatmu menangis Nurma?”, tanyaku sambil menatap dalam-dalam wajah cantiknya yang tertunduk lemas itu, dia menganggukkan kepalanya. Kuraih MP3 Player itu dan menekan tombol pemindah lagu, dan yang kudapati ternyata lagu ‘So Far Away’ itu lagi yang terputar. Oh… astaga Nurmaku sayang… mengapa kau seperti ini… aku sangat sedih melihatmu terluka.
Segera ku rengkuh Nurma ke pelukanku, kubiarkan dia menangis sejadinya dalam pelukku. Tanpa sadar, aku mulai menitihkan air mata… aku sangat sedih melihat gadis kesayanganku harus bersedih setiap hari.
“Jo, apa kau tak ingin berniat menembaknya? Malam ini adalah malam minggu, dan sudah 2 bulan lamanya kau dekat dengan Nurma. Katamu, kau akan mempersuntingnya… bagaimana rencanamu akan berhasil kalau menembaknya saja kau belum lakukan”, kupikir perkataan Jery memang ada benarnya. Malam ini mungkin memang malam yang tepat untuk aku menyatakan cinta pada Nurma. Tapi… sudah 3 hari ini aku tidak berhubungan dengan Nurma, aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku di kantor dan aku tak pernah mendapati Nurma mengirim sms ataupun miscall di handphoneku. “kau benar juga, Jer… mungkin malam ini adalah malam yang tepat untuk menyatakan cinta padanya, aku akan menghubunginya, Jer. Aku akan mengajaknya dinner di Green Café malam ini”, aku langsung menyambar HP ku dan menekan nomor HP Nurma. “bagaimana, Jo? Sudah diangkat?”, tanya Jery yang memandangiku dari tadi, sudah 1 menit aku mencoba menelponnya tapi belum juga diangkat. “belum ada jawaban”, tanpa pikir panjang aku langsung menelpon nomor rumahnya yang di berikan oleh mamanya tempo hari. Setelah beberapa saat akhirnya ada yang menjawab dari sebrang sana. “halo?”, suara itu asing di telingaku. “halo? Bisa bicara dengan Nurma?”, tanyaku. “ini Den Johan?”, oh ternyata pembantu Nurma yang sering membawakan aku minuman setiap kali aku berkunjung, tapi sekalipun aku belum pernah mendengar dia bicara. “iya, bi. Nurmanya ada?”, tanyaku. “maaf Den, non Nurma sedang kritis di rumah sakit. Tadi sore, non Nurma jatuh dari lantai dua, Den…”, informasi itu sungguh mengejutkanku… ini berita buruk… aku seperti tersambar petir di dalam diriku… air mataku menetes begitu saja… tubuhku melemas dan memegang handphone dengan gemetar. “Nurama dirawat dimana, bi? Beri tau aku…”, setelah mendapatkan alamat rumah sakit itu, aku dan Jery segera keluar menuju rumah sakit yang dituju. Mobil yang aku setir melaju dengan cepat, pikiranku kacau, semua tak sesuai impianku… aku menginginkannya menjadi milikku malam ini… namun sekarang… “Johan!!! Kau hampir saja menabrak pembatas jalan!”, aku kaget setengah mati, Jery membanting stir tiba-tiba… memusnahkan lamunanku yang kalut… “maafkan aku, Jer… aku terlalu takut dan bingung juga hancur…”, tanpa berfikir lagi Jery langsung mengambil alih kemudi dan kemudian kami melanjutkan perjalanan ke rumah sakit.
Setiba di rumah sakit, aku langsung menuju ruangan UGD yang telah di informasikan oleh pembantu Nurma. Sesampainya di sana… sepi… tak ada orang yang menunggui di depan ruangannya, aku segera menuju ruangan itu dan masuk. Di sana hanya ada suster yang sedang membereskan perlengkapan operasi dan membereskan kasur pasien. “suster… dimana pasien yang di rawat di ruang ini?”, tanyaku sambil terengah-engah karena berlari menuju ruang ini. “anda pacarnya ya? Maafkan kami tuan, pacar anda tidak bisa kami selamatkan… almarhumah sekarang sedang di bawa ke mobil ambulance untuk di bawa pulang dan dimakamkan besok”. DUARRRRR!!!!! Kali ini aku benar-benar tersambar petir, tubuhku kaku seketika dan hampir terjatuh… aku tak bisa menahan tangisku lagi… aku berlari meninggalakan Jery yang meneriakki namaku. Aku langsung berlari menuju mobilku dan menuju rumah Nurma…
Sekarang aku berada di depan rumahnya… aku ingin masuk… tapi aku sungguh tak kuat menopang raga ini berjalan masuk ke dalam dan mendapati gadisku terbaring tak bernyawa lagi… “hei…nak Johan… ayo masuk, nyonya sudah menunggu di dalam…”, suara itu… suara Pak Karto tukang kebun Nurma yang sangat ramah dan baik hati berbicara kepadaku dengan setengah menangis dan nada suara yang penuh kepedihan. Aku segera membuka pintu mobilku dan masuk kerumah Nurma bersama Pak Karto. Di sini sangat ramai dengan para tetangga Nurma dan sanak saudaranya yang berduka dan banyak yang menangis karna kepergian gadis cantikku… “itu… Tuan Albert… dia Ayah non Nurma yang pulang dua hari yang lalu dari Jerman”, jelas Pak Karto. Dengan sopan aku menyalami Ayah dan Mama Nurma walau dengan air mata yang masih menetes dari mataku… “maafkan aku tante, maafkan aku om… karena tidak tau kejadian ini… aku sangat terlambat…”, kata-kataku penuh penyesalan… “tak apa nak, semua sudah terjadi… semua yang ada di dunia ini hanya titipan sementara kita harus bisa menerimanya”, kata-kata bijak yang terlontar dari Ayah Nurma. Meski aku tau ada beban dan duka yang bisa aku baca dari raut wajah Ayahnya, namun beliau tetap terlihat tegar dan bisa menerima. Tapi aku tau sesungguhnya… Tidak… sedangkan mamah Nurma hanya bisa menangis sejadinya tanpa berkata apa-apa…
Esok hari tepat pukul 10.00 WIB…
Nurmaku telah selesai dimakamkan, impianku… tujuanku… belahan jiwaku… sudah berada jauh disana… meninggalkanku lemah tak berdaya disini tanpa pernah menyatakan perasaan cintaku kepadanya… Nurma… aku akan sangat merindukanmu sayang… selamanya kau akan tetap di hati ini…
Sore ini aku berjalan-jalan di taman kota sendirian… untuk mengenang masa-masa bahagiaku bersama Nurma… aku duduk di kursi panjang tempat aku memeluknya… aku mengambil MP3 Player dan secarik kertas lucu berwarna pink dengan gambar tedy bear namun bertuliskan kata-kata sedih dari Nurma yang diwariskan kepadaku beserta MP3 Player itu…
Johan…
Aku menyayangimu…
Meski aku tak pernah mencintaimu, tapi sungguh aku sangat menyayangimu…
Kau adalah semangat di sisa hidupku…
Aku pernah bermimpi untuk membangun keluarga bersamamu walau tanpa cinta… dan kau tau cintaku hanya untuk Deni calon tunanganku dulu…
Tapi sekarang aku sudah tak kuat lagi… dengan MP3 Player ini ku harap kamu akan selalu mengenangku dalam hatimu…
Setelah membaca pesan terakhir Nurma aku memasang earphone dan memutar lagu kesayangan Nurma dulu dan kini akan menjadi lagu kesayanganku untuk selalu mengenang Nurma…
~So Far Away
How do I live,Without the ones I love?
Bagaimana aku harus hidup tanpa orang yang aku cintai?
Time still tuns the pages of the book it’s burned
Waktu masih membalik halaman buku yang telah dibakarnya
Place in time always on my mind
Kenangan lalu selalu kupikirkan
When I have so much to say but you’re so far away
Ketika banyak yang ingin kukatakan namun kau begitu jauh