“Pertama: Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertumpah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedua: Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga: Kami poetra dan poetri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, Bahasa Indonesia.”
Politik Etis yang dicanangkan oleh Kerajaan Belanda pada awal abad ke-20, memunculkan kalangan terdidik baru karena akses pendidikan bagi pribumi. Tokoh-tokoh dari berbagai wilayah berserikat, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatranen Bond, dan lain sebagainya. Perkumpulan ini kemudian berhasil bertemu dalam Kongres Pemuda, mendiskusikan gagasan-gagasan kebangsaan dan melahirkan ide pergerakan baru. Tujuan Kongres Pemuda yang dilaksanakan dua kali ini tidak lain adalah memupuk persatuan. Selain itu juga berbagi perspektif untuk melancarkan perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Kongres Pemuda pertama yang dilangsungkan pada 30 April-2 Mei 1926 juga menjadi latar belakang penting. Pada pertemuan ini disepakati adanya kerjasama pemuda dalam bidang sosial, ekonomi, dan budaya. Disepakati pula akan dilakukan kongres kedua untuk menegaskan gagasan yang ada.
Kongres Pemuda II dilaksanakan pada tanggal 27-28 Oktober 1928, bertempat di Gedung Katholike Jongen Bond dan Gedung Oost Java (JL. Medan Merdeka Utara), Batavia. Forum ini dipimpin oleh Sugondo Joyopuspito (PPPI) dan Joko Marsaid (Jong Java). Kongres kedua ini merumuskan tujuannya yaitu :
Melahirkan cita-cita perkumpulan pemuda Indonesia,
Membicarakan permasalahan kepemudaan Indonesia,
Memperkuat kesadaran kebangsaan dan persatuan Indonesia.
Agenda penting pada kongres ini adalah pernyataan “Sumpah Pemuda” yang telah dirumuskan oleh Moh. Yamin selaku sekretaris kongres. Pengucapan sumpah ini adalah simbolisasi keseriusan pemuda-pemuda Indonesia dalam melancarkan pergerakan nasional yang lebih progresif dan satu visi. Dengan mengikat diri dalam tanah air, kebangsaan, dan Bahasa yang satu, para pemuda ini berharap agar perjuangan dapat berjalan lebih maksimal.
Agenda tambahan pada sela-sela kongres adalah penampilan lagu “Indonesia Raya” oleh Wage Rudolf Supratman, yang kemudian diputuskan untuk menjadi lagu kebangsaan Indonesia.